Dibaca Normal
Beginilah kondisi pengantaran jenazah di tempat peristirahatan terakhir menggunakan perahu. |
Bima, PorosNTB.com-Setelah heboh kasus jenazah naik ojek beberapa waktu lalu, mencuat lagi kasus serupa. Tapi kali ini, jenazah naik perahu menyeberangi sungai lantaran tidak ada jembatan penghubung. Kondisi ini terjadi di Dusun Palisondo Desa Sondosia Kecamatan Bolo Kabupaten Bima NTB.
Kabupaten Bima menjadi satu dari sekian daerah di NTB yang masih terbelakang. Baik dari segi pembangunan maupun kemiskinan, Bima masih jauh tertinggal dari daerah lain. Tak ayal kondisi ini memicu ketimpangan sosial di Bumi Maja Labo Dahu tersebut.
Setelah heboh kasus mayat bayi yang dipulangkan dengan ojek, ikut pula mencuat kasus jenazah yang juga naik perahu di Dusun Palisondo.
Di dusun ini PorosNTB.com bertemu dengan warga yang ingin namanya disebut Tm. Pria bertubuh kekar ini mau berbagi cerita tentang kabar jenazah naik perahu tersebut.
Awalnya dia enggan bercerita lantaran takut masuk berita. Tapi setelah diberi pemahaman, sehingga dia mau membagi informasi tersebut dengan mencantumkan inisialnya.
Tm merupakan satu-satunya pengantar jenazah yang bertugas memayungi keranda jenazah. Selain itu, perahu keluarganya juga menjadi satu-satunya yang dipakai khusus mengantarkan jenazah menyeberangi sungai dengan lebar lebih dari 20 meter tersebut.
Jarak antara dusun setempat dan tempat pemakaman umum sebenarnya tidak terlalu jauh sekitar 150 meter. Hanya saja harus dipisahkan oleh sungai.
"Ada empat sampai lima orang yang bertugas mendorong perahu jenazah saat berada di dalam sungai. Saya yang berada di atas perahu bersama keranda, sedangkan tiga orang harus berenang mendorong perahu," ceritanya.
Lalu bagaimana pengantar jenazah? "Mereka tetap ikut sampai ke TPU. Tapi mereka menggunakan perahu yang lain," ujarnya.
Diakui, kondisi tersebut cukup memprihatinkan. Apalagi saat musim hujan seperti ini. Tentunya debit air di sungai akan tinggi dan arusnya akan deras. Sehingga memerlukan kesigapan dari para pengantar jenazah.
"Jika banjir bandang, terpaksa kita tunda dulu hingga airnya turun karena ini cukup berbahaya," urainya.
Dia juga mengisahkan pernah ada dalam satu hari dua orang yang meninggal sekaligus. Dengan kondisi hujan deras disertai banjir. Kondisi itu yang paling dia ingat selama mengantar jenazah di atas perahu.
"Kita harus lakukan pemakaman bergilir. Setelah keranda yang satu tiba di tepi sungai, kita balik lagi ambil jenazah berikutnya. Karena kondisi sedang banjir, sehingga kita cari tali sebagai pegangan agar jenazah tidak hanyut terbawa banjir," kenangnya.
Menurut dia, pengantaran jenazah melalui sungai itu sudah terjadi sejak 2012 lalu. Sebelumnya, di sungai setempat ada jembatan khusus menuju tambak, sawah dan TPU. Namun pasca dihantam banjir bandang 2012 lalu, sehingga sampai saat ini warga setempat belum memiliki jembatan.
Aktifitas menuju sawah dan tambak pun, warga terpaksa naik turun sungai.
Apakah pemerintah tidak tahu soal ini? "Tahu. Justru ini menjadi janji politik pemerintahan saat ini. Bahkan sejak almarhum Dae Ferry, jembatan ini juga sudah dijanjikan," bebernya, dengan semangat.
Menurut dia, pemerintah desa kurang gesit menyambut persoalan ini. Seharusnya kata dia, Pemdes bersuara lantang mendesak pemerintah yang di atas agar memenuhi janjinya. Karena kondisinya memang sangat memprihatinkan.
"Saat ini, perahu itu sudah mulai rusak. Mau tidak mau, kini pengantaran jenazah harus pakai rakit. Sementara janji politik belum juga dilunasi. Kami hanya bisa menunggu, tidak bisa berbuat banyak," tandasnya.
Sementara kepala Desa Sondosia Ir Jauhari mengakui potret miris pengantaran jenazah di salah satu dusun setempat. Meski begitu, pihaknya terus berupaya menggedor pemerintah daerah agar segera membangun jembatan.
"Semoga cepat diperhatikan, kasian juga warga kita di sana," ujarnya saat dihubungi via seluler. (Poros-07)
COMMENTS