Dibaca Normal
Bima, Poros NTB.-Bagi para PNS dulunya yang kini disebut ASN, khususnya
lingkup daerah Bima, dipindah –tugaskan ke wilayah Kecamatan Tambora sama
halnya dengan dikucilkan, disingkirkan, dibuang, dipencilkan, disegregasi, lalu
diabaikan, bahkan merasa dipenjara secara halus oleh para pemangku kepentingan.
Dalam persepsi PNS kala itu, mungkin tidak sepenuhnya
benar, PNS yang dipindahkan ke Tambora, setara dengan para pembangkang politik
yang dikamp kerja paksakan karena membangkang,
membelot, dan berseberangan dengan keinginan atau kepentingan penguasa.
Diperkuat kejadian-kejadian berulang yang menjadi
rahasia umum, bahwa penguasa juga jika akan menghukum para pegawainya, maka
Tambora sering dijadikan pilihan utama untuk dijadikan sebagai “Kawah
Pengucilan” bagi mereka.
Tak heran dulu itu, Pasca Pilkada, merupakan saat-saat
yang paling mendebarkan bagi para PNS yang nakal berpetualang dalam politik dan
kebetulan memihak yang kalah, lantaran dibenaknya dihantui oleh momok “dipindahkan
ke Tambora”.
Tak hanya PNS, masyarakat umum juga menganggap Tambora
sebagai pilihan terakhir sebagai tempat untuk mengadu peruntungan. Mereka yang putus
asa karena menganggur dan yang bangkrut di tempat asal, biasanya beralih ke
Tambora untuk mencoba meraup untung. Ada juga mereka yang kalah bertarung dalam
kontestasi tertentu, berpaling ke Tambora karena memendam malu.
Persepsi semacam itu dianggap wajar. Kecamatan Tambora
yang didiami gunung berjuluk Pompeii dari Timur yang mengeringkan dapur
magmanya Tahun 1815 ini, dulunya memang wilayah terpencil yang sulit dijangkau
transportasi. Untuk sampai ke Tambora, dari Kota Bima memakai Bus bisa memakan
waktu lebih dari setengah hari melewati medan perjalanan yang cukup berat.
Namun, beberapa tahun terakhir ini persepsi seperti
itu tentang Tambora perlahan memudar. Wilayah Tambora kini bukan lagi momok,
tapi mulai menjelma menjadi primadona. Terhitung sejak dinobatkan Gunung
Tambora sebagai Taman Nasional April 2015 lalu, ditambah pula Kawasan Tambora
resmi didapuk sebagai Geopark Nasional oleh UNESCO 2017 lalu sejak digagas Tahun 2014. Imbasnya bagi
geliat perekonomian di wilayah Tambora menjadi sangat luar biasa.
Lalu masih adakah yang masih menganggap Tambora sebagai
“Kawah Pengucilan”?
Menyadur laporan wartawan media ini, hasil wawancara beberapa
PNS yang dulunya pernah bebulan-bulan memendam dendam karena merasa dibuang ke
Tambora, malah mengaku saat ini tidak ingin ditugaskan diluar Tambora.
“Ngapain (pindah dari Tambora)?,”ujar sumber. “saya
sangat merasa nyaman bertugas di Tambora saat ini. Kita mendapatkan berbagai
tunjangan yang tidak diberikan kepada mereka yang bertugas di tempat lain. Bagi
saya Tambora sekarang seperti taman yang tidak membosankan,” ungkapnya lagi.
Bagusnya lagi, Pemerintah Kabupaten Bima yang dipimpin
Dinda-Dahlan pintar memanfaatkan peluang dari dua status besar yang disematkan bagi
Gunung Tambora. Menurut Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Bima, Drs. Dahlan,
mengaku bahwa sector pariwisata merupakan prioritas utama Pemkab Bima saat ini.
Sumber dana dan sumber daya manusia yang dikerahkan untuk memajukan pariwisata di Bima
ini sangat diseriusi.
Dahlan mencontohkan, jika dulu untuk sampai ke Kawinda
To’i sekarang hanya memerlukan waktu 2-3 jam lewat jalur lingkar utara Sanggar.
“Jadi untuk menikmati tempat pariwisata Air Terjun Bidadari di Kawinda To’I sekarang
hanya butuh waktu 2 atau 3 jam dari Kota Bima, Jalanya sudah di-Hotmix kok “ ujar Dahlan.
Untuk Tambora sendiri, dahlan memastikan bukan lagi
wilayah terpencil yang biasa dijadikan sebagai tempat “membuang “ orang. Bahkan
sekarang banyak orang diluar Tambora yang berlomba-lomba menjadi pelaku usaha
di sana. Karena Tambora sekarang merupakan destinasi wisata yang sangat popular
dan digemari saat ini.
Hal menarik yang dikatakan Dahlan, bahwa untuk membuat
sebuah daerah agar dikenal dunia, maka pariwisata merupakan jawabannya.
“Pariwisata boleh dibilang sebagai jendela bagi dunia untuk memperkenalkan potensi daerah”, cetusnya.
“Pariwisata boleh dibilang sebagai jendela bagi dunia untuk memperkenalkan potensi daerah”, cetusnya.
Selain Tambora, Bima sendiri, kata dia memiliki
ratusan spot wisata, yang masih terus dikembangkan dan dipromosikan lewat
event-event seperti Festival Sangiang Api. Arus yang deras di perairan sangiang
dinilainya sangat menantang bagi para turis untuk berperahu layar.
“Arus air di sana deras, dan itu unik yang tidak akan
didapatkan di wilayah perairan lain,” ungkap Dahlan.
Ia kemudian menyebutkan spot wisata lain yang sangat
potensial untuk dikembangkan adalah Pantai Wane. Untuk membuktikan keseriusan,
di Woro-Wane telah dibangunkan Hotel berbintang. Dan jarang diketahui umum,
turis sering mampir di Wane dengan kapal pesiar mereka.
Isu yang berkembang saat ini pengembangan pariwisata
di Kabupaten Bima sering terkendala oleh keamanan yang kurang. Untuk itu Dahlan
berharap masyarakat di wilayah destinasi wisata bisa memberikan keamanan dan
kenyamanan bagi para pengunjungnya.
“Selain itu masyarakat juga harus jujur,” kata Dahlan.
Karena sering ditemukan kasus, penyedia jasa
transportasi secara oportunis mematok harga yang tidak biasa untuk mengantar
para turis ke tempat wisata, dan itu membuat turis kapok. “Masa minta turis
antar ke wane dengan harga 250 ribu, padahal tarif normalnya berkisar 25 sampai
50 ribu. Jadi harus jujur agar turis tidak kapok,” imbuhnya.
Ke depan Bima ini diharapkan Dahlan tidak hanya
dijadikan sebagai tempat transit bagi turis yang akan berwisata ke Pulau
Komodo. Tetapi turis bisa mampir beberapa pekan untuk menikmati spot wisata di
Bima yang tak kalah menggiurkan. (Aden)
COMMENTS