Dibaca Normal
Bima, Porosntb- Harga bawang merah memang sulit diterka. Pasang surut
harganya juga punya ambang yang lebar. Ambil contoh tahun 2015-2016 lalu,
harganya mencapai 2 hingga 2.5 juta per kwintal. Sementara tahun 2017-2018 ini,
harganya menurun hingga 700-900 ribu per kwintal.
Namun meski sering jatuh bangun akibat diamuk pasang surut harga yang liar
layaknya bola dadu, para petani tak pernah kapok bertani bawang merah secara
total.
Ambil contoh petani di Desa Pai Kecamatan Wera.
Menurut Jamaluddin, petani setempat, untuk sepetak lahannya yang seluas
25 are saja minimal butuh biaya Rp. 23,5 juta. Dengan perincian obat-obatan Rp.
10 juta dan bibit Rp. 2,7 juta per kwintal dari 5 kwintal yang dibutuhkan,
hingga total Rp. 13,5 juta untuk bibit.
“Itu minimalnya, Pak! Disesuaikan dengan musim kemarau, obat yang
dipakai sedikit dan harga bibit lagi murah,” ujarnya.
“Itu belum hitung pupuk, tenaga dan biaya yang kecil-kecil. Kalau
dihitung ada lebih dari 30 juta,” sergahnya lagi, saat ditemui di sela-sela
acara “Pasar Teknologi” yang digelar PT. Advansia Indotani Wilayah Sumbawa-NTT,
Sabtu (15/9/18).
Sementara itu, jika dikalkulasi, saat ini 25 are lahannya paling tinggi mampu
memproduksi 4 ton bawang merah. Mengambil
harga tengah bawang Rp. 750 ribu per kwintal, maka harga 4 ton produksinya hanya
Rp. 30 juta. Jadi menurutnya bahkan belum mampu untuk membuat impas.
Para petani bawang ini baru bisa untung, seandainya harga bawang merah
bisa mencapai Rp. 1,5 juta per kwintal. Karena menurutnya, bertani bawang baru
bisa disebut untung jika harga jual produknya dua kali lipat dari Biaya obat-obatan
dan bibit.
Belum lagi, jika harga turun saat tanam bawang di musim hujan. Karena saat
musim hujan kebutuhan akan obat bisa meningkat berkali lipat.
Di Desa Pai sendiri ada 3 watasan tempat bertani bawang setahun penuh, sementara
watasan lainnya hanya memanfaatkan musim
kemarau untuk bertani bawang. Di 3 watasan tersebut, bawang merah dapat
diproduksi 5 kali dalam setahun.
Maka tidak heran jika petani di Desa Pai dikenal sangat “royal” merogoh
kantong untuk kebutuhan pupuk dan pestisida.
Tak heran juga, jika PT. Advansia melirik Dusun Kalo Desa Pai sebagai
tempat menyelenggarakan kegiatan “Pasar Teknologi”. Meski lokasinya di pesisir,
namun obyek kegiatannya tepat.
Apalagi di satu sisi, bagi para petani setempat, bertani bawang merah juga
menjadi kebanggaan.
“Malu Pak! Kalau tanaman bawang di sawah sebelah lebih bagus dari punya
kita,” tutur Jamaluddin.
Berlomba-lomba menggunakan pupuk dan pestisida untuk merawat tanaman
bawangnya, menjadi lumrah dilakukan. Apalagi, berdasarkan pengalaman, hasil
produksinya juga memuaskan.
Namun, sayangnya bagi mereka, harga lebih sering tidak memuaskan.
Tapi selagi mampu, berusaha memang tetap lebih baik dari berdiam diri.
(Aden)
COMMENTS