Dibaca Normal
Sekretaris Dinas Perkim Kabupaten Bima, Taufik, ST, MT |
Bima, Poros NTB.- Desa sebagai kawasan otonom sebagaimana
diatur dalam UU No. 6 Tahun 2014 Di era otonomi daerah saat ini tidak lagi bisa
dipandang seperempat mata.
Seperti dikatakan Sekretaris Dinas Perkim Kabupaten Bima,
Taufik, ST, MT, dengan diberikannya hak-hak istimewa bagi desa, seperti
kewenangan pengelolaan keuangan dan Alokasi Dana Desa (ADD), membuat skala
lokal desa menjadi Locus bagi geliat pembangunan daerah dan nasional.
“Sekarang dengan otonomi daerah dan otonomi desa,
kewenangan itu ada di Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Desa,” ujar taufik.
Kewenangan desa yang dimaksudnya, menyangkut dari mulai pencetusan,
perencanaan, pelaksanaan, hingga pertanggung jawaban penyelenggara.
“Namun, disinilah letak konteks persoalannya. Karena efektifitas penggunaan Dana Desa (DD), tergantung
pada kemampuan Kepala Desa untuk menempatkan penggunaan setiap rupiah dari DD
itu,” paparnya lebih lanjut.
Sementara ini, Pilkades serentak di Kabupaten Bima baru
saja berlalu. Kepala Desa terpilih, yang bisa jadi dipenuhi “wajah baru” akan
dilantik berselang bulan.
Karena itu, saat berbincang dengan redaktur media ini di
ruangannya pekan lalu, Taufik, berbagi tips bagaimana mengelola DD agar pengalokasiannya
semaksimal mungkin menyentuh essensi kebutuhan warga desa.
Pertama, cetusnya, Kepala Desa harus mampu
mengidentifikasi kebutuhan warganya untuk dipetakan ke dalam skala prioritas
program.
Kedua, Jalankan program yang menjadi prioritas utama
meski rasio anggaran tidak mencukupi.
Karena ketiga, jika anggarannya tidak cukup, maka dapat
melakukan rasionalisasi.
Salah satunya melalui sharing program atau yang ia
istilahkan sinkronisasi program ADD prioritas tersebut dengan program APBD Pemerintah
Daerah, maupun program APBN Pemerintah Pusat.
“Misalnya ada program prioritas di desa yang memerlukan
anggaran sampai 1 M. Lalu apakah karena membutuhkan anggaran yang besar
kemudian desa meninggalkannya, tidak menjadikannya sebagai program? Kemudian
Kades mengalihkan alokasi anggaran kepada hal hal lain yang prioritasnya bukan
prioritas utama?” Tanya dia retoris.
“Padahal dilihat dari urgensinya kalau program tersebut
adalah penting,” imbuhnya.
Solusinya, kata Taufik, Kades harus melakukan upaya lobi
ataupun sinkronisasi rencana program dengan dinas terkait lingkup Pemerintah
Daerah, agar nanti ada pembagian biaya peruntukan, tugas, dan kewenangan dalam
pelaksanaan program itu.
Ambil contoh, lanjutnya, ada program pengadaan air bersih
yang membutuhkan dana lebih dari Rp. 1 M. Karena ADD yang terbatas tak mungkin
desa melaksanakan program itu secara mandiri.
“Nah, di sinilah Kepala Desa dituntut melakukan
konsultasi dengan Pemerintah Daerah lewat dinas terkait untuk melakukan
sinkronisasi dengan program Pamsimas (Penyediaan Air Minum dan Sanitasi
berbasis Masyarakat),“ tukas Taufik.
“Jika kondisinya, desa hanya mampu membiayai 300 juta,
hanya untuk menangani bagian ini dan itu. Sisanya ditambal lewat APBD atau
APBN. Nanti kan ada batasannya. Misalnya, waduk mata air, reservoir (penampung
cadangan air), dan pipa jaringan primernya tidak mampu dibiayai oleh ADD. Ini
yang bisa dibiayai oleh kabupaten. Kemudian bangun ini dan itu sisanya, bisa
dibiayai dengan ADD atau swadaya,” urainya.
Swadaya itu sendiri dapat berupa incash (uang tunai)
maupun inkind (tenaga gotong royong) yang dapat dikonversikan dengan uang untuk
dituangkan dalam anggaran.
Ambil contoh, kata dia, incash 10 juta, dan inkind yang jika
dikonversikan dengan gaji mencapai 70 juta. Maka swadayanya menyumbang 80 juta.
“Nah, itu akan masuk ke anggaran. Tapi orang yang digaji
menurut anggaran itu tidak digaji. Hanya uangnya saja yang dihitung, karena
pelaksanaannya itu dilaksanakan sebagai gotong royong.” Terangnya lebih lanjut.
Sehingga satu program bisa ditangani secara bersama-sama
dan dibiayai dari sumber dana yang berbeda. “Penggunaan anggarannya itu
masing-masing, pertanggung jawabannya masing-masing. Tapi perencanaannya itu
terintegrasi antara Pemdes dengan dinas teknis.” Pungkas Taufik.
Ia menyiratkan, tidak ada alasan keterbatasan biaya untuk
merealisasikan program prioritas desa. Bukan hanya sebatas contoh pengadaan air
bersih saja, tapi untuk program bidang lain.
Intinya, Kepala Desa harus melakukan konsultasi dengan
dinas terkait lingkup Pemerintah Daerah, untuk sharing program desanya. (Red)
COMMENTS