Dibaca Normal
![]() |
Rahmat, S.Pd, Guru Suka Rela yang dikeluarkan atas dasar kewenangan penuh kepala sekolah, hanya karena menggunakan haknya yang dijamin oleh UUD 1945 |
Bima, Poros NTB.- Kasus guru honorer
yang “didepak” dari sekolahnya mengabdi, marak terjadi akhir-akhir ini dengan
berbagai alasan. Bahkan ada yang dirumorkan hanya karena beda pilihan saat
Pemilu beberapa waktu lalu. Jika benar adanya, ini merupakan alasan yang
konyol.
Berikutnya, salah
seorang guru sukarela yang telah 9 tahun mengabdi di sekolah Dasar (SDN) 2
Campa, Kecamatan Madapangga, Rahmat S.Pd, harus menelan pil pahit lantaran dikeluarkan
secara tiba-tiba tanpa didahului Surat Peringatan.
Menurut pengakuan Rahmat, ia
dikeluarkan karena pernah membocorkan informasi
kepada media terkait pemotongan gaji guru sukarela pada beberapa waktu lalu. “Hingga dianggap memalukan jajaran pendidikan wilayah
Kecamatan Madapangga, akhirnya saya dikeluarkan," klaim Rahmat,
Sabtu (20/07/19) pada awak
media ini.
Setlah sembilan tahun
mengabdi, ia kini resmi dikeluarkan oleh Kepala Sekolah SDN 2 Campa, terhitung Jum'at (19/07/19) kemarin.
Meski begitu, Rahmat mengaku, tetap menerima keputusan Kepala
Sekolah. “Namanya juga Suka dan Rela.” Ujarnya. “Akan tetapi berdasarkan aturan dan mekanisme yang ada
surat peringatan harus dikeluarkan dulu. Masa secara lisan tanpa alasan yang jelas," imbuhnya penasaran.
Anehnya, kata dia,
alasan dirinya dikeluarkan
karena telah membuat malu jajaran pendidikan wilayah kecamatan
Madapangga. “Bikin malu
itu seperti apa sich?" Tanya dia heran.
Kalaupun dirinya pernah mengatakan melalui media, terkait adanya pemotongan gaji guru sukarela , hal itu menurutnya tidaklah membuat malu dunia pendidikan di kecamatan
Madapangga.
"Aneh kok menyampaikan ke media tentang pemotongan gaji tenaga sukarela dianggap memalukan pendidikan
wilayah kecamatan
Madapangga. Kok bisa
begitu yach?"
herannya lagi.
Hal itu menurutnya membuktikan,
masih tertanamnya sikap anti kritik dari sejumlah stake holder di jajaran dunia
pendidikan di Bima. Bahkan, meminjam istilah Rahmat, dunia pendidikan di Bima
ini “semau gue” dan “diktator”.
“Saya siap
menerima dikeluarkan secara lisan. Akan tetapi
masa pihak dinas Dikpora melalui KUPTD Dikdubpora Madapangga memerintahkan
pemecatan atas saya karena
pemberitaan itu. Hal ini ngga
benar adanya, pendidikan semau gue dan diktator dong," pungkasnya.
Sementara Kepala
Sekolah SDN 2 Campa yang coba
dihubungi awak media ini via HP
tidak menjawab, meski telah dihubungi berkali-kali.
Namun Kepala UPTD Dikbudpora
Madapangga, Syaifuddin, S.Pd, menanggapi positif dikeluarkannya Rahmat. “(Dikeluarkannya Rahmat) itu atas sarannya
Kepala Dinas juga. Saya dukung itu, karena… saya dukung, terus terang saja ya.
Kasih pembelajaran lah,” ujarnya.
Jika dikaitkan dengan kasus
pengeluaran Rahmat ini, mungkin pembelajaran yang dimaksudnya adalah agar guru tidak
melontarkan kritik dan tidak menyuarakan protes terhadap kebijakan sekolah,
meski kebijakan tersebut dinilai tidak adil.
Karena apa yang dilontarkan
Rahmat lewat media itu, adalah merupakan salah satu bentuk penggunaan hak kebebasan
berpendapat dan kebebasan berbicara. Dan setiap orang berhak atas hak yang
dimilikinya.
Jika iya, hal ini lebih konyol lagi. Karena pantaskah seseorang diberikan “pelajaran” hanya karena ia menggunakan haknya yang dijamin
dalam UUD 1945?
Meski begitu, Syaifuddin, tidak setuju jika keputusan dikeluarkannya Rahmat itu
sebagai sebuah bentuk arogansi pihak Dikbudpora. Karena kata dia, itu merupakan wewenang
penuhnya Kepala Sekolah.
Mudah-mudahan wewenang penuh yang dimaksudkan,
bukan merupakan bentuk arogansi kewenangan yang bercampur dengan
kepentingan, apalagi dendam. (Poros08)
COMMENTS