Dibaca Normal
Muammar (Paling kiri) |
Oleh: Muammar
(Mahasiswa Magister Ilmu Hukum UMM & Alumni Fakultas Hukum UMSU)
DPR sedang bergegas merancang dan menetapkan Undang-Undang serta Hukum sebelum masa jabatan mereka berakhir Oktober ini. Perundang-undangan rasa sistem kebut semalam ini, tentu berujung pada pro dan kontra. Namun, saat ini DPR juga sedang menggodok hukum yang lebih dasyah dari semuanya. RKUHP (Rancangan Kitab Undang-UNdang Hukum Pidana), bila RKUHP yang dirancang oleh DPR lolos apa adanya, RKUHP dinilai tidak hanya akan mengekang kebebasan berekpresi, RKUHP juga di nilai tidak berpihak pada masyarakat berekonomi rendah, memuat banyak pasal karet dan mengintervensi ruang privat.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana merupakan ibu dari sistem peradilan pidana yang disahkan di zaman kolonial Belanda tahun 1915 dan diberlakukan 1918. Pada tahun 1946, setelah kemerdekaan, KUHP diputuskan masih berlaku secara nasional melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan di perkuat melalui Undang-Undang No. 73 tahun 1958. Wajar setelah 100 tahun berlaku, KUHP ini perlu direvisi dan dikontekstualkan dengan dinamika dan tantangan sosial budaya terkini. Persoalnnya adalah, apakah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang siap disahkan oleh DPR benar-benar telah diperhitungkan konsekuensinya secara sistem hukum? Sosial budaya? dan pembangunan manusia secara jangka panjang? Hal ini mengingat masih cukup banyak pasal-pasal yang masih bermasalah di dalamnya.
Pasal-Pasal Bermasalah
Terdapat cukup banyak pasal dalam RKUHP yang rentang mengkriminalisasi jurnalis dan media, termasuk pasal 262 tentang penyiaran berita bohong, pasal 240 sampai 241 tentang penghinaan pemerintahan yang salah serta pasal 263 tentang berita yang tidak pasti dan masih banyak lagi. Hukuman untuk penghinaan terhadap presiden naik dari sebelumnya 4 menjadi 5 tahun, hal ini lebih berat dari pada hukum colonial belanda. Bahkan RKUHP mengekang dari putusan Mahkamah Konstitusi, sebelumnya Mahkamah Konstitusi telah membatalkan eksistensi pasal pidana terhadap pemerintah dan lembaga negara. Namun, RKUHP malah mengembalikannya, hal ini menandakan sebuah kemunduran untuk sebuah negara dengan sistem demokrasi, deretan pasal-pasal tersebut akan menyebabkan jurnalis sungkan untuk memberitakan atau mengkritik pemerintah dan lembaga negara lainnya kerenan ancaman pidana penjaranya. Apalagi ditambah dengan pasal-pasal karet yang telah kita punyai sebelumnya dalam Undang-Undang ITE (Informasi Teknologi dan Elektronik) yang kerap digunakan untuk mengekang kebebasan berekpresi. Masih belum puaskah DPR?
RKUHP juga akan mengatur kehidupan privat kita semua, Pasal 417 RKUHP mengkriminalisasi kehidupan seksual antara laki-laki dan perempuan diluar perkawinan, walaupun hubungan tersebut dilakukan atas dasar suka sama suka. Padahal saat ini 55% pasangan menikah dirumah tangga di ekonomi rendah dan kesulitan memiliki dokumen perkawinan resmi. Apabila RKUHP resmi disahkan Pasal ini dikhawatirkan akan mendorong angka perkawinan anak, yang saat ini sudah masuk pada taraf mengkhawatirkan. Lebih jauh lagi dengan melihat Pasal 251, 470 dan 472 berpotensi memenjarakan setiap perempuan yang melakukan pengguguran kandungan, walaupun perempuan itu adalah korban pemerkosaan atau dalam kondisi darurat medis. Masih belum puas juga DPR?
Pasal 604 sampai 607 juga akan menetapkan hukuman yang lebih ringan untuk pelaku tindak pidana korupsi (TIPIKOR) ketimbang Undang-Undang TIPIKOR yang sudah ada. Memasukkan korupsi kedalam RKUHP juga membuat tindak pidana korupsi sebagai kejahatan yang biasa bukan lagi kejahatan yang luar biasa. Sudah tentu, ada pasal bonus untuk teman-teman yang lain, misalnya Pasal 414-415 yang memidana orang yang menunjukan alat pencegahan kehamilan. Hingga pasal 432 yang mendenda orang yang bergelandangan senilai satu juta rupiah. Secara historis pasl penggelandangan ini bermula dari wacana meniadakan jasa pekerja seks di jalanan. Namun, pada praktiknya pidana denda terhadap gelandangan adalah sesuatu yang tidak masuk akal dan tidak jelas sehingga akan membuka celah untuk diinterprestasikan secara luas dan akan berpotensi kriminalisasi terhadap perempuan yang bekerja dan pulang dimalam hari, pengamen, tukang parkir dan orang dengan disabiltas psikososial yang terlantar. Penggelandangan sendiri merupakan bentuk kegagalan negara memenuhi kesejahteraan warga masyarakat, dank arena itu keberadaan pasal tersebut justru bertentangan dengan pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara negara. Kriminalisasi seharusnya ditunjukan kepada mereka yang mengorganisasi penggelandangan, bukan induvidu yang melakukan penggelandangan.
Tunda atau Hentikan Pengesahan
Menimbang berbagai permasalahan yang telah dikemukakan di atas (masih dapat diperbanyak dan di perluas), penundaan pengesahan RKUHP adalah pilihan yang cukup rasional dan terbaik saat ini. Berikan waktu untuk berwacana yang lebih panjang sehingga bukti-bukti empiris yang abash dan terpercaya dapat dikemukakan dan dikaji secara seksama.
Selain itu, RKUHP dalam pasal-pasal yang tersebut di atas malnggar prinsip umum dalam penerapan Hak Asasi Manusia, yaitu non-diskriminasi. Saratnya pasal-pasal yang bersifat diskriminasi dalam RKUHP ini akan memancing reaksi dunia Internasional yang lagi-lagi akan merugikan kepentingan pembangunan jangka panjang kita. Peraturan perundang-undangan adalah instrument pengaturan normative yang rasional dan sewajarnya belajar dari bukti-bukti empiris yang tersedia di dalam maupun di luar negeri. Ada kesan kuat dorongan untuk pengesahan RKUHP ini bersifat sangat emosional dan sementara. Moga-moga ahli hukum yang senior di dalam tim perumus RKUHP tetap bersikukuh pada raionalitas hukum demi kepentingan semua subyek hukum tanpa terkecuali.(*)
COMMENTS