Dibaca Normal
Bima, Poros NTB.- Sejumlah organisasi pers dan forum wartawan di Nusa Tenggara Barat menyesalkan adanya pelaporan terhadap salah seorang wartawan Media Garda Asakota yang sehari-hari bertugas di Kota Mataram, Ahmad Riftaudin atau akrab disapa Imam ke Polres Kota Bima oleh salah satu kader PPP Amiruddin terkait sangkaan penghinaan.
Sekretaris Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) NTB, Anugrah Dany di Mataram, Selasa, meminta Polda NTB untuk memerintahkan kepada penyidik Polres Bima Kota untuk menolak laporan Amiruddin bernomor STTLP/K/697/X/2019/NTB/Tes Bima Kota tertanggal 14 Oktober 2019.
"AMSI NTB meminta Polda NTB untuk menolak kembali laporan itu. Pihak pelapor saya sarankan untuk melapor ke dewan pers," katanya.
AMSI kata Dhani, sangat menyayangkan dan menyesalkan pelaporan itu. Karena apapun dalihnya pers atau jurnalis adalah mitra.
"Sebagai rekan kerja dan sesama profesi kami tentu sangat menyayangkan dan menyesalkan pelaporan itu," tegasnya.
Ketua Forum Wartawan DPRD NTB, Fahrul Mustofa menyatakan, kalaupun ada keberatan terkait dengan sebuah pemberitaan atau produk jurnalistik, mestinya ada ruang hak jawab yang bisa dipergunakan oleh nara sumber sesuai dengan Undang-Undang Pers No 40 tahun 1999.
"Jadi ruang hak jawab itu mestinya yang dikedepankan. Nah, pertanyaannya apakah ini sudah dilakukan. Sehingga, tidak langsung ujuk-ujuk melaporkan ke polisi," sesalnya.
Selain itu, pihaknya menyesalkan pihak kepolisian menerima laporan itu tanpa mengindahkan MOU antara Kepolisian, Dewan Pers, serta Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung terkait sengketa pers.
"Mestinya ini bisa menjadi pegangan aparat penegak hukum," ucap Arul.
Ia menilai, munculnya kasus ini, menandakan masih banyak oknum politisi yang belum paham kerja kerja jurnalis di lapangan. Sehingga dia meminta DPW PPP NTB dan khususnya pihak DPC PPP Kota Bima menjadikan kasus ini sebagai pelajaran penting dan evaluasi internal, agar kasus serupa tidak terulang.
Fahrul justru mempertanyakan kepentingan oknum kader PPP yang melaporkan jurnalis dengan sangkaan penghinaan atas sebuah produk jurnalistik.
"Kami mengingatkan, jika keberatan terhadap praktik jurnalistik di lapangan, ada mekanismenya sesuai Udang Undang Pers. Ada juga Dewan Pers yang bisa memproses pengaduan itu. Apalagi mereka ini politisi seharusnya bersikap dan bertindak sesuai aturan juga," katanya.
Ketua AJI Mataram, Sirtupillaili juga menyesalkan tindakan para pihak yang melaporkan produk jurnalistik ke ranah pidana. Bila ada yang keberatan dengan karya jurnalistik, pihaknya mendorong para pihak menggunakan ruang hak jawab. Bila masuk ranah sengketa, sebaiknya diselesaikan melalui mekanisme di Dewan Pers, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Dalam kasus ini, AJI Mataram mengharapkan Kapolda NTB melaksanakan kesepakatan yang diteken bersama, antara jurnalis NTB dengan Kapolda NTB terkait komitmen menyerahkan sengketa pers ke Dewan Pers.
Di samping itu, AJI Mataram juga mengingatkan kepada jurnalis untuk selalu bersikap profesional, independen dan mengedepankan kode etik jurnalistik dalam menjalankan tugas jurnalistiknya.
Sementara, kuasa hukum media Garda Asakota, Rusdiansyah MH juga menyatakan penyesalannya atas pelaporan tersebut.
Menurutnya, Polres tidak boleh menerima aduan masyarakat atas hasil produk jurnalistik karena ada MoU antara Dewan Pers dengan Polri yaitu bagi yang merasa keberatan akan diarahkan gunakan hak jawab, hak klarifikasi dan kalau tidak puas bisa lapor ke Dewan Pers serta dapat juga mengajukan gugatan perdata di pengadilan kalo yang bersangkutan merasa masalahnya tidak puas keputusan Dewan Pers.
"Kami saat ini mempelajarinya lebih jauh bersama tim sembari menyusun laporan dan pengaduan ke Polda NTB," katanya.
Sumber : Kantor Berita Antara Mataram
COMMENTS