Dibaca Normal
Oleh : Mujamin Yasin
(Pemuda Bima)
Berapa hari lalu, memori kita, publik (masyarakat Bima) terutama warga net Mbojo yang berjejaring dalam dunia sosial media rasa-rasanya kembali diingatkan betapa kayanya ‘bahasa ibu’ yang kita miliki.
Betapa tidak, tiba-tiba saja lini masa Facebook menjadi ramai di bincangkan, lantaran di nilai tidak elok, bahkan seolah kontroversial dan viralnya kata “Pakaro” yang dilontarkan oleh Bupati Bima Indah Damayanti Putri (IDP) pada saat menemui masyarakat tani yang menyampaikan aspirasi kelangkaan pupuk.
Sebetulnya tak ada yang istimewa, idiom (ungkapan) pakaro ini biasa di pakai dalam keseharian kita ‘ndai mbojo’. Misalnya masih ingat “aina rewo lao dou ma pakaro, ma pakaro pede” dan lain sebagainya.
Tradisi lisan, bahasa ibu (Nggahi Mbojo) umum ‘Pakaro’ merupakan nasihat orang tua, ibu, bapak, kakak, sanak-saudar kita bahkan leluhur kepada anak (generasi) selanjutnya untuk tidak menjadi orang yang jahat, atau apapun yang berkaitan dengan hal (predikat) buruk yang lebih luas.
Kalimat-kalimat yang mengandung petuah nasehat seperti demikian, di jaman kekinian memang sudah jarang terdengar lagi. Kita patut bersyukur, IDP telah mengingatkan bahasa ibu kita yang hampir hilang.
“Hal ma ndake wati loa nuntu pakaro ndai doho mu” ucap IDP di tengah kerumunan massa aksi demonstrasi dengan ekspresi marah. Dan selang beberapa waktu yang terbilang singkat menjadi viral sekaligus berhasil menciptakan sedertan diksi-diksi.
Tetapi terlepas apapun resiko efek dari kalimat tersebut, yang terpenting di dalam ilmu komunikasi, IDP telah berhasil menggiring khalayak pada ingatan tertentu, ini satu hal.
Hal lainnya kemudian mengapa seolah kontroversial, apakah kata pakaro mengandung epistemologi (filsafat) negatif, buruk atau jahat? Apakah IDP tidak paham dengan makna dari bahasa ibu orang Bima, kata pakaro yang mengarah pada sifat jahat dan perilaku buruk?
IDP bermaksud mendiskreditkan atau jahat, menebas nilai-nilai baik dari yang seharusnya sikap seorang pemimpin menjadi teladan? Kenapa IDP seolah begitu ringan menggunakan kata pakaro, tidak ada pilihan kata-kata lain? Jangan-jangan IDP sedang merasa sangat berkuasa saat ini, merasa memilik segala-galanya termasuk punya ‘satpam kekuasaan’ yang menjaganya sehingga berlaku demikian? Pertanyaan-pertanyaan penting itu untuk kemudian kita coba menggali keterkaitannya.
Untuk di ketahui, supaya sedikit lebih jelas, dalam sosio kultural Bima, istilah ‘pakaro’ di pakai untuk mengingatkan seseorang tentang keburukan, kejelekan atau hal-hal negatif lainnya. Sebutan pakaro adalah justifikasi jahat, terkadang orang menggunakannya dengan sedikit nada yang menghardik atau mengecam kepada seseorang yang tidak ada sedikit pun unsur candaan disitu.
“Hal ma ndake wati loa nuntu pakaro ndai doho mu” kalimat IDP ini bila di input ke dalam ejaan Indonesia kira-kira seperti “hal yang begini tidak bisa bicara dengan memakai cara jahat kalian”.
Artinya disini, terlepas dengan kata Pakaro dari IDP telah berhasil merefresh ingatan kita, komunikasi dengan menggunakan diksi kebencian pakaro, secara eksplisit IDP telah mengucapkan justifikasi, larangan bicara pada rakyat (massa aksi) dengan tones sumir, mencoba menghardik massa karena menganggap yang menerima pesan adalah orang-orang yang menyepelekannya.
Fatalnya, perkataan ‘pakaro’ IDP tersebut tidak nyambung atau tak ada hubungan keterkaitannya dengan aspirasi massa. Apa lagi berkilah emosi IDP terbawa situasi, karena para demonstran terlihat biasa saja, tak menandakan ada kreasi apa lagi reaksi berlebihan yang sekiranya mengarah pada kronologi (justifikasi) pakaro.
Justru yang paling tampak, bahwa ia IDP ingin menampakkan bahwa dirinya yang paling tahu persoalan dan menguasai jawaban dari masalah. Padahal lain sisi, tak ada langkah kebijakan atau keberpihakan yang konkret (secepat cahaya) untuk menyelesaikan aspirasi massa. Toh tetap saja penyelesaiannya berbelit-belit, birokratis, atau dibutuhkan waktu yang tidak singkat.
Dengan begitu, IDP mesti menanggung konsekuensi? Jarum jam peristiwa kemarin memang tak bisa berhenti, disesalkan. Peristiwa sejarah akan berbekas seiring dengan terus berjalannya waktu. Sejarah buruk ucapan pakaro ini adalah menjadi bahan yang harus di bahas, dikoreksi lalu kita evaluasi sejarah kepemimpinan IDP. Sebab pemimpin yang telah menerobos nilai-nilai dalam sebuah masyarakat. Maka ketidaklaziman setelahnya akan terus berulang.
Mesti di koreksi, karena dalam ‘bahasa kekuasaan’ penunjukkan kata pakaro tafsirnya tidak sepele, bisa melukai perasaan. Lagipula setelah diksi pakaro, kita khawatir hal lain, IDP akan lantas dia berpeluang menjadi seorang yang memerintah dengan tangan diktatorial. Bisa jadi, sebab sifat diktator seperti Vladimir Ilyich Ulyanov (1870-1924) misalnya yang selalu menganggap dirinyalah yang paling tahu, paling berani (militan), paling berkuasa karena merasa punya orang-orang (proletarian) yang revolusioner.
Hanya bedanya IDP dengan Lenin (nama popular Vladimir) dia yang berhasil memodifikasi pemikiran kelas dengan justru menggerakkan (menggunakan) massa pekerja, petani, buruh dan lain-lain untuk melakukan perubahan yang revolusioner.
Lenin membangun kediktatoran proletariat, sementara IDP apa sedang ingin coba-coba membangun diktatorial dengan kalangan Borjuisa konservatif. Yakni kekuasaan yang berlindung di bawah kepungan para mafia (pupuk dan lain) atau preman kampung? Barangkali.
Bangunan kediktatoran semacam ini bisa saja hanya sebuah ramalan, namun juga dapat dibuktikan dengan banyaknya tanda-tanda tadi dan selama ini ia berkuasa.
Tapi terlepas semua itu, menariknya persoalan ucapan IDP ini tentu tak terhindarkan akan menjadi gorengan politik, karena dalam waktu sebentar lagi Kabupaten Bima akan kontestasi Pilkada. Yang jelas kasus ini sekaligus telah memberikan sumbangan kecil bagi kita semua masyarakat Bima. Bahwa soal bahasa, kearifan budaya dan lainnya tentang ke-bima-an, baiknya menjadi bahan bacaan penguasa, diajarkan, menjadi kajian di sekolah-sekolah formal maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Lebih dari pada itu, Bima yang memiliki kearifan lokal yang tak dimiliki daratan-daratan lain. Kendati banyak kepada-kepala daerah, terutama kepala daerah yang bukan orang asli daerah Bima, hanya saja ia memenangkan pertarungan Pilkada, namun tak paham nilai-nilai keadaban dalam masyarakat yang dia pimpin.
Hemat saya, sekali lagi kepemimpinan siapapun ini patut di koreksi. Saya menganjurkan agar terutama kaum tani tidak lagi melulu bersedia berunding apalagi kerjasama dengan pemimpin yang bisanya hanya membentak dengan diksi-diksi sumir. Akibat itu tadi, ia tidak seperti Lenin yang bersedia menjadi sahabatnya para petani.
Kita harus mencari pemimpin (kepala daerah) yang mengantongi keriteria pemimpin (dumu dou atau ama rasa) sesuai titah (perintah) para ‘dou ma ngau’ dahulu kala. Adalah juga kita harus mencari sosok seperti syang Bima. (Baca: Delapan ori-syarat pemimpin dalam rumusan Nggusu Waru).
Manggusu Waru’ sebuah kriteria pemimpin menurut budaya lokal Mbojo, yang di ulas dalam jurnal Abdul Malik M. Hasan (2008). Ia merumuskan secara intristik konsepsi pemimpin yang sarat dengan terutama nuansa keislaman. Tetapi Nggusu Waru juga sebetulnya lebih menitik beratkan pada kerakter pemimpin yang berkesesuaian dengan kultural ‘Dana ro Rasa Mbojo’. yang mungkin masih relevan.
Di jelaskan dalam buku ‘Sejarah Bima Dana Mbojo’ Abdullah Tajib (1995), bahwa Syang Bima dilukiskan berawajah angker. Namun berhati lembut bak salju, tangguh, pemberani, seperti karang dilautan. Komunikatif, rendah diri dalam bertutur kata, tegas, adil mengambil keputusan. Dan amanah, bertanggungjawab, penuh kasih-sayang pada rakyat jelata.
Ilustrasi Sang Bima yang di populerkan secara singkat oleh Abdullah Tajib, adalah bisa jadi jawaban atas pertanyaan. Tolok-ulur, timbangan teladan dalam segala segi kegiatan, kehidupan kemasyarakatan Bima. Pesan-pesan, wawasan sejarah semacam itu dapat membekali kita menjadi arif. Terutama IDP sebagai kepala.
Akan tetapi, kembali lagi, masyarakat yang lebih paham dan mengerti kebutuhannya, mengetahui mana yang baik buat memimpin mereka. Dalil tersebut merupakan doktrin demokrasi kita.
Apa bila IDP kembali memenangkan kontestasi politik Pilkada, maka bisa jadi ini bukanlah pertanda masyarakat Bima sudah tak perduli lagi dengan “pesan arif” dari kata ‘pakaro’. Telah melupakan bahwa daratan Bima yang derajatnya tinggi karena di huni oleh kekulturan, adat istiadat lokal yang kaya akan kesantunan, keramah-tamahan. Wallahualam.(*)
COMMENTS