Dibaca Normal
Oleh: Ns. Junaidin S.Kep,.M.K.M
Indonesia kini tengah melawan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Pandemi global yang berasal dari Wuhan, China ini sudah begitu cepat menyebar di seluruh pelosok negeri, tak terkecuali di Provinsi NTB. Tercatat sudah delapan orang positif Corona di NTB per 3 April 2020. Kondisi ini membuat pemerintah pusat menetapkan status darurat Corona.
Kabupaten Bima sebagai salah satu daerah di NTB juga berupaya menangkis masuknya wabah tersebut. Meski belum terkonfirmasi ada yang positif, namun jumlah orang dalam pengawasan (ODP) cukup banyak. Terlebih lagi pergeseran masyarakat dari luar Bima sudah mulai meningkat dan ini tentu mengkhawatirkan. Kondisi ini tentu membutuhkan tenaga medis, seperti perawat.
Apalagi Negara sudah mengeluarkan maklumat untuk tidak beraktivitas di luar rumah dan berpergian keluar kota. Karena negara akan kewalahan untuk menangani pasien-pasien yang memenuhi rumah sakit akibat penularannya yang sangat cepat. Begitupun tim-tim lapangan baik dari kesehatan masyarakat maupun lembaga-lembaga LSM, organisasi masyarakat terus berupaya untuk memotong rantai penularan COVID-19.
Kondisi ini membuat pemerintah daerah mengeluarkan kebijakan-kebijakan strategis untuk merekrut/memberi penghargaan kepada tenaga kesehatan dalam melakukan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitative untuk menanggulangi Virus Corona. Salah satu contoh Pemeritah DKI Jakarta yang mengeluarkan kebijakan penambahan insentif sebesar Rp 250.000/hari kepada tenaga-tenaga kesehatan.
Namun beda kasus dengan Kabupaten Bima Nusa Tenggara Barat. Di RSU Sondosia, salah satu rumah sakit Kabupaten Bima dimana tenaga kesehatan baik Perawat dan Bidan yang menjadi tenaga sukarela memilih mogok kerja. Hal ini disebabkan lantaran jasa pelayanan (Jaspel) 8 bulan belum terbayarkan ditambah lagi dengan kosongnya alat pelindung diri (APD) dalam mengahadapi pasien virus Corona.
Alasan rumah sakit, karena keterlambatan SK dari pemerintah daerah. Karena syarat pencairan jaspel dan insentif itu harus ada SK tersebut. Hal ini sesuai pernyatataan kasi pelayanan di RSU Sondosia. Mirisnya, ada pernyataan Kadikes yang membuat tenaga sukarela seprofesi merasa tersinggung, "Tenaga sukarela statusnya suka dan rela, tidak ada jaspel, apalagi gaji dan insentif”. Bak gayung bersambut, pernyataan itu dikemukakan juga oleh Sekda Bima “Merasa cukup baik jika tenaga sukarela dirumahkan dulu sebab jika tuntutanya berkaitan dengan masalah insentif ataupun jaspel”.
Sebenarnya tidak elok pejabat daerah mengeluarkan pernyataan seperti itu terhadap tenaga kesehatan. Karena pengabdian mereka tidak bisa diukur dengan apapun. Apalagi dalam kondisi darurat Corona seperti saat ini, tentu mereka adalah pahlawan kemanusiaan.
Kalau dilihat indicator kualitas pelayanan, garda terdepan adalah perawat yang selama 24 jam mereka bersama pasien. Sangat ironis jika tenga perawat yang sukarela dizolimi di saat-saat ini. Semoga Pemerintah daerah, Bupati Bima dan Gubernur NTB bersikap baik dan memperhatikan jeritan tenaga perawat sukarela yang ada di Kabupaten Bima yang selama ini tidak diperhatikan nasibnya.(*)
COMMENTS