Dibaca Normal
Dr. Ibnu Khaldun Sudirman, M. Si |
Bima, porosntb.com-Pemilihan kepala daerah (Pilkada) Kabupaten Bima bakal berlangsung Desember 2020. Riak-riak pesta demokrasi sudah mulai tampak menjelang pendaftaran para bakal calon. Hal ini ditandai dengan euforia simpatisan yang berjubel di jalan raya menyambut aksi "blusukan" para bakal calon.
Kondisi ini cukup menyita perhatian lantaran status pandemi Covid-19 yang tengah mewabah dan mengharuskan untuk tidak berkumpul. Terlebih lagi, belakangan ini sedang tren aksi konvoi keliling dan arak-arakan massa pendukung dan bakal calon.
Peneliti dari Pusat Studi Pemilu dan Partai Politik (CEPP) Universitas Indonesia, Dr Ibnu Khaldun Sudirman, M.Si ikut berkomentar menyikapi hal tersebut. Koordinator Asosiasi Dosen Ilmu Politik (ADIPI) NTB itu menilai jika aksi konvoi bakal calon di tengah massa pandemi global ini tidak memberikan pendidikan yang baik kepada masyarakat.
Selain melanggar protokoler Covid-19, arak-arakan dan blusukan para Balon ini dinilai telah melanggar hak asasi manusia dalam bidang kesehatan.
"Negara harus memberikan perlindungan tinggi pada rakyat, khususnya dalam memperhatikan aspek hak hidup sehat," ungkapnya.
Pernyataan itu cukup beralasan mengingat masih ditemukan beberapa kasus baru Covid-19 di Kabupaten Bima, hingga anggota Adhoc penyelenggara Pilkada ikut terpapar. Mestinya kata pria yang akrab disapa Dr Ibnu tersebut, para balon kepala daerah mengedepankan penyampaian visi misi secara daring. Sebab, masyarakat harus diberi asupan tentang program-program unggulan para Balon sebagai dasar pemilih menentukan arah pilihannya pada 9 Desember nanti.
"Tidak harus konvoi dan arak-arakan dengan membawa massa yang banyak. Paparkan visi misi dan langkah strategis apa yang akan dilakukan jika nanti terpilih," papar dosen ilmu politik ini.
Konvoi keliling sudah tidak relevan lagi dengan Demokrasi di masa pandemi ini. Justru akan menumbuhsuburkan suporter (pemilih tradisional) bukan voter (pemilih rasional).
Menurutnya, Pilkada ini dilaksanakan saat negara sedang mengalami beban ekonomi akibat Covid-19. Ditambah lagi adanya kasus-kasus positif baru yang tentu akan mengkhawatirkan kesehatan masyarakat.
"Ekonomi terpuruk, terkoreksi ini sangat mendalam bahkan tidak ada pertumbuhan, minus 4 persen. Kondisi ini terancam resesi kebangkrutan sementara anggaran untuk pembiayaan Pilkada juga tidak sedikit," ungkapnya.
"Ini menunjukkan memang masih sangat riskan pelaksanaan Pilkada. Jika kondisinya begini, Pilkada bisa saja ditunda. Bahkan Mendagri juga sudah merespon, karena ini mengancam hak kesehatan warga negara," imbuh Tim Ahli DPR RI tahun 2013-2015 ini.
Bakal calon diajak untuk memberikan pendidikan Demokrasi yang sehat kepada para pemilih serta tidak lagi menggunakan cara-cara lama (Konvoi, arak-arakan) untuk meraup dukungan. Pada hakekatnya tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat senang akan hadirnya pemimpin yang visioner dan membawa harapan baru. Sehingga penting bagi bakal calon untuk memaparkan program unggulan dan beradu gagasan. Bukan saling membawa massa dan berkonvoi.
Di samping itu, sejumlah partai politik (Parpol) juga belum nampak melakukan konsolidasi menghadapi agenda rutin lima tahunan tersebut. Masyarakat masih menunggu siapa sebenarnya pasangan yang ditetapkan oleh partai politik. Parpol ditantang untuk melakukan modernisasi partai dengan berani terbuka dan mencari rekam jejak para bakal calon yang akan diusung.
"Parpol jangan hanya membuka tahapan terbatas soal penyampaian visi misi Bakal Calon saja. Harusnya ikut melibatkan pelajar, mahasiswa dan kelompok kelompok menengah untuk ikut memberikan penilaian. Hasil tahapan seleksi kepala daerah yang akan diusung juga hanya diketahui oleh Parpol saja. Tentu hal ini tidak mempengaruhi jalan bahwa bakal calon punya kualifikasi baik," sorot Tim Seleksi Anggota KPU NTB 2018 ini.
Menghadapi Pilkada Kabupaten Bima tahun 2020, Parpol harus berani memberikan warna baru dalam melakukan rekruitmen kepala daerah, tidak menggunakan pendekatan organisasi (PO) dengan memprioritaskan kader sendiri atau dalam lingkaran koalisi partai. Namun memberikan kesempatan yang luas kepada calon-calon di luar partai atau koalisi yang memiliki visi-misi dan kepimpinan yang kuat dan figur-figur yang berkualitas.
"Pertimbangan pertama, Parpol mengutamakan kader dan punya elektabilitas. Tidak secara mendalam, seperti mengevaluasi rapor kadernya setiap tahun. Apakah warna biru atau kuning, Parpol mestinya punya standar. Seharusnya, parpol berkonsultasi dengan baik, punya platform yang bisa digunakan untuk memperbaiki seleksi penetapan calon kepala daerah yang akan diusung," bebernya.
Lanjut Dr Ibnu, masyarakat diajak untuk menyampaikan aspirasi menyangkut hal tersebut sehingga menjadi atensi dari Parpol di tingkat pusat untuk menumbuhkembangkan voter pemilih rasional.
"Saat ini masyarakat dibiarkan untuk menafsirkan sendiri apa yang dilakukan oleh Parpol. Kenapa tidak punya tahapan yang jelas untuk penetapan Bapaslon, kenapa dibiarkan berlarut-larut sampai sekarang. Harusnya kan ada tahapan, ada asas kepastian. Ini mengindikasikan tidak ada kesiapan dari parpol untuk menyiapkan kader-kader yang hanya mengandalkan tingkat keterpilihan," tutur pria enerjik ini.
Ibnu menambahkan, selama Parpol masih menggunakan cara-cara lama dalam menyaring figur calon kepala daerah. Maka tidak akan banyak perubahan pada pelaksanaan Pilkada 2020 Kabupaten Bima, tidak sesuai ekspektasi publik yang menginginkan banyak pilihan adanya figur-figur berkualitas. Hal itu hanya akan mendorong masyarakat terjebak pada pola politik transaksional dan tidak mewujudkan substansi Pilkada atau demokrasi.
"Jaring dulu aspirasi, misalnya mendatangi para elit-elit masyarakat sipil, baik ormas maupun kelompok tertentu. Ini kan hanya menilai berdasarkan ukurannya yang ditentukan sendiri oleh Parpol melalui seleksi visi misi. Tidak ada terobosan membuka ke publik," tandas doktor jebolan UI ini. (*)
Penulis Edo
COMMENTS