Dibaca Normal
Ade Fathul Anam Putra saat foto bersama keluarga usai prosesi wisuda STKIP Tampil, Minggu (10/10/20) |
Tak ada yang mengira jika seorang yang pernah menjadi buruh kelapa sawit ini mampu meraih prestasi akademik tertinggi di bangku kuliah. Ade menjadi lulusan terbaik di STKIP Taman Siswa Bima dengan IPK 3.79, sekaligus mengukuhkan diri sebagai jawara di jurusannya, Prodi Sejarah. Banyak cerita yang ia lalui hingga dia bisa sampai di titik ini. Berikut ulasannya.
Penulis : Edo Rusadin
Perjalanan panjang meraih predikat terbaik tidak datang begitu saja. Perlu kerja keras, berpeluh keringat hingga air mata. Inilah yang dirasakan wisudawan bernama lengkap Ade Fathul Anam Putra, SPd. Kisah pria rupawan asal Desa Cempi Jaya Kecamatan Hu'u Kabupaten Dompu itu tak seindah parasnya. Ia harus melakoni pahit dan getirnya kehidupan di tanah rantau sebelum kembali ke Bima.
Ade merupakan buah cinta dari pasangan Ismail dan Asmah. Ia anak kedua dari tiga bersaudara. Ayahnya seorang petani tulen, pun demikian dengan ibunya. Ade tahu betul bagaimana kondisi keuangan keluarganya. Sehingga saat tamat sekolah 2013 lalu, ia tidak langsung menjadi seorang mahasiswa. Meski dalam hati kecilnya berkecamuk ingin merasakan atmosfer kehidupan kampus. Apalagi, teman-teman sekelasnya waktu SMA rata-rata melanjutkan studi ke perguruan tinggi.
"Saya nggak mau bebankan orang tua karena ego saya yang ingin kuliah. Sementara keuangan kami serba kekurangan," ujarnya dengan nada rendah.
Kondisi ekonomi yang sangat minus memaksa Alumni SMAN 1 Hu'u ini harus mengubur mimpinya menjadi seorang mahasiswa. Ia hanya menjadi penonton saat teman-teman seangkatannya kala itu sibuk mengurus pendaftaran kuliah.
"Perasaan saya campur aduk. Tapi inilah hidup saya yang harus dilalui. Saya pasrah dengan keadaan," urainya.
Sejak saat itu Ade harus melupakan keinginannya untuk bisa memakai almamater dan memilih merantau ke Pulau Kalimantan. Di Kalimantan Timur ia bertemu dengan teman-teman baru dan bekerja di ladang sawit suatu perusahaan.
"Sebelum merantau, ibu saya berpesan, suatu saat nanti kalau ada uang agar ditabung. Siapa tahu bisa untuk tambah-tambah uang kuliah. Pesan ini yang masih membekas di hati hingga saya sampai di pulau Kalimantan," katanya.
Di perusahaan itu, Ade menjadi buruh semprot. Gaji bulan pertamanya langsung ia kirimkan buat orang tuanya di kampung halaman. Kemudian gaji bulan kedua, ia mulai menyisipkan sedikit-sedikit.
"Saya mulai nabung. Entah nanti uang itu untuk nikah atau kuliah. Yang jelas, saya mengingat pesan ibu," kisahnya.
Baru saja meneguk manisnya madu gaji kedua, Ade harus menelan pil pahit kehidupan di tanah rantauan. Ibunda tercinta dikabarkan telah pergi untuk selama-lamanya. Kabar duka itu datang di saat ia tengah berpeluh keringat di ladang sawit dengan peralatan semprot di pundaknya.
Ade syok dan tak percaya. Karena kemarin ibunda masih memberi nasihat padanya. Kabar duka yang tiba-tiba itu membuatnya terenyuh. Bahkan ia sempat putus asa menjalani hidupnya. Orang yang disayangi dan menjadi peneguh hatinya itu kini sudah tiada.
Terlebih lagi Ade tidak bisa menyaksikan dan mengantarkan langsung ibunda tercinta ke tempat peristirahatan terakhir. Dari jauh ia hanya bisa menangis kencang, meronta penuh nestapa.
"Itulah titik terendah dalam hidup saya. Tidak bisa saya terima kenyataan itu. Seketika gairah hidup saya tak ada lagi," kenangnya dengan tatapan kosong.
Meski begitu, Ade adalah pemuda yang tegar dan kuat. Dukungan dan semangat dari teman-temannya di rantau membuat ia kembali bangkit dan menatap jauh ke depan.
"Saya harus tegar. Hidup ini masih panjang dan masih banyak yang harus saya lakukan," ujarnya, mengulas kata hatinya saat itu.
Pulang Kampung
Setelah tiga tahun bergelut dengan pompa semprot di ladang sawit Pulau Borneo, Ade akhirnya memilih pulang ke Bima. Karena sudah lama merantau, dia rindu pada tanah kelahirannya dan ingin segera berziarah ke makam sang bunda.
Tentu kepulangannya ke Bima bukan saja untuk itu. Tapi ada misi utama yang sudah menjadi cita-citanya. Iya benar, Ade mendaftar kuliah di STKIP Taman Siswa Bima dengan mengambil jurusan sejarah.
"Uang tabungan hasil kerja saya di Kalimantan dipakai untuk pendaftaran. Alhamdulillah, saya terdaftar di kampus ini," terangnya.
Ada kemauan pasti ada jalan. Akhirnya, Ade memakai almamater yang sedari dulu dia idamkan. Ia bangga karena bisa menjadi mahasiswa dengan uang sendiri dari hasil keringatnya.
Kemauan yang besar dalam dirinya membuat ia ditempa dengan berbagai proses selama menjalani kuliah. Kegigihan dalam belajar mulai membuahkan hasil hingga berhasil meraih beasiswa prestasi.
"Beasiswa itu yang saya manfaatkan untuk biaya kuliah. Sebagian saya pakai untuk usaha sampingan," katanya.
Disinggung usaha sampingan apa yang ia kerjakan, dia tak malu mengungkapkan jika kerap menjual salome demi membiayai hidupnya.
"Lumayan untuk tambah-tambah bayar kos dan bayar kuliah," akunya.
Selain itu, pemuda yang hobi memasak ini juga pernah mengikuti karya tulis ilmiah dengan menggali sejarah maritim. Prestasi demi prestasi terus ia torehkan hingga membawanya sebagai satu-satunya mahasiswa yang mampu menempuh kuliah 7 semester atau selama 3.5 tahun. Capaian ini jarang diraih oleh mahasiswa jika memang tidak gesit.
"Terimakasih kepada ayah dan almarhumah ibu serta keluarga yang sudah mendukung. Semoga predikat cumlaude ini tidak membuat saya mawas diri untuk terus belajar. Karena kehidupan sesungguhnya akan saya lalui setelah wisuda ini," tutupnya, bangga. (*)
COMMENTS